Tanjidor: Gemuruh Musik Tradisional Betawi yang Tak Lekang Dimakan Zaman

Musik tradisional Betawi memiliki beragam khazanah yang kaya dan unik, salah satunya adalah musik tradisional Betawi Tanjidor. Ansambel musik ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Jakarta. Iramanya yang khas dan semangatnya yang membara menjadikan Tanjidor sebagai bagian tak terpisahkan dari berbagai acara dan perayaan Betawi.

Sejarah mencatat bahwa Tanjidor diperkirakan muncul pada abad ke-19, dibawa oleh pengaruh musik Eropa melalui para serdadu dan pekerja kompeni Belanda. Masyarakat Betawi kemudian mengadaptasi alat-alat musik seperti klarinet, trombon, piston, dan drum, lalu mengolahnya menjadi musik tradisional Betawi yang memiliki ciri khas tersendiri. Nama “Tanjidor” sendiri diduga berasal dari bahasa Portugis, “tangedor,” yang berarti alat musik berdawai, meskipun dalam perkembangannya Tanjidor justru didominasi oleh alat musik tiup dan perkusi.

Dalam setiap penampilannya, musik tradisional Betawi Tanjidor mampu membangkitkan suasana meriah dan semangat. Biasanya, Tanjidor dimainkan oleh sekitar 7 hingga 10 orang yang memainkan berbagai alat musik secara harmonis. Repertoar lagu yang dibawakan pun beragam, mulai dari lagu-lagu Betawi klasik seperti “Kicir-kicir,” “Jali-jali,” “Surilang,” hingga lagu-lagu populer yang diaransemen ulang dengan sentuhan Tanjidor yang khas.

Keberadaan musik tradisional Betawi Tanjidor seringkali menjadi daya tarik utama dalam berbagai acara, mulai dari pernikahan, khitanan, hingga festival budaya. Pada perayaan HUT Kota Jakarta ke-498 yang jatuh pada hari Minggu, 22 Juni 2025, misalnya, kelompok Tanjidor “Putra Jaya” dari kawasan Condet dijadwalkan tampil di Lapangan Banteng mulai pukul 10.00 WIB hingga selesai. Menurut Bapak Agus, ketua kelompok tersebut, mereka akan membawakan sekitar 15 lagu dengan durasi penampilan kurang lebih 2 jam. Pengamanan acara ini akan melibatkan 35 personel dari Kepolisian Sektor Gambir dan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta untuk memastikan kelancaran acara.

Sayangnya, perkembangan zaman dan modernisasi membawa tantangan tersendiri bagi kelestarian musik tradisional Betawi Tanjidor. Kurangnya regenerasi pemain dan minat generasi muda menjadi perhatian utama. Namun, berbagai upaya terus dilakukan oleh komunitas seni dan pemerintah daerah untuk menjaga eksistensi Tanjidor, seperti mengadakan festival, workshop, dan memasukkan Tanjidor dalam kurikulum pendidikan seni di sekolah-sekolah.

Sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, Tanjidor bukan hanya sekadar alunan nada. Ia adalah representasi dari sejarah, identitas, dan semangat masyarakat Betawi yang patut untuk terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Gemuruh musiknya adalah cerminan dari kekayaan budaya Indonesia yang beragam dan membanggakan.