Fokus kurikulum yang lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan akademik telah menjadi ciri khas sistem pendidikan saat ini. Penekanan pada penguasaan materi pelajaran, hafalan, dan persiapan ujian seringkali mendominasi jadwal belajar siswa. Ini menciptakan lingkungan di mana kecerdasan intelektual menjadi satu-satunya indikator keberhasilan, sementara aspek penting lainnya seperti pengembangan karakter dan keterampilan sosial terpinggirkan.
Akibatnya, pendidikan karakter seringkali hanya menjadi tempelan. Meskipun secara teori diakui penting, pelaksanaannya di lapangan seringkali tidak terintegrasi secara holistik dalam pembelajaran. Aktivitas yang melatih empati, kejujuran, atau tanggung jawab kadang hanya berupa kegiatan ekstrakurikuler atau sisipan singkat, tanpa menjadi bagian inheren dari materi inti. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitasnya.
Fokus kurikulum yang sempit ini berkontribusi pada fenomena murid kelelahan. Mereka dibebani dengan materi yang banyak, namun tidak diberikan cukup ruang untuk mengembangkan diri secara seimbang. Waktu bermain dan eksplorasi minat menjadi minim, karena jadwal yang padat dengan les dan tugas demi mengejar nilai semata, mengikis potensi kreativitas mereka.
Lebih jauh, adanya asumsi bahwa semakin banyak PR dan les akan membuat anak pintar justru memperparah masalah ini. Asumsi ini mendorong orang tua dan sekolah untuk terus menjejalkan materi, tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat menghambat pemahaman esensial dan pengembangan soft skill. Ini menciptakan siklus di mana kuantitas mengalahkan kualitas dalam proses pendidikan.
Kelemahan ini berujung pada “luka” yang mendalam: murid kurang memiliki keterampilan sosial, empati, kemampuan problem solving, dan resiliensi yang kuat. Padahal, semua ini adalah modal penting untuk beradaptasi di masyarakat dan menghadapi tantangan kehidupan nyata. Pendidikan yang terlalu teoritis tanpa praktik langsung seringkali gagal mempersiapkan siswa untuk dunia di luar bangku sekolah.
Fokus kurikulum yang terlalu akademik juga dapat membuat orang tua kesulitan mengikuti perubahan kurikulum dan membantu belajar anak. Mereka mungkin merasa tidak memiliki tools atau pemahaman yang cukup untuk mendukung pengembangan karakter anak di rumah, karena kurikulum tidak memberikan panduan yang jelas. Kesenjangan ini menciptakan kebingungan dan frustrasi di kalangan orang tua.
Penting bagi Pemerintah Provinsi dan pemangku kepentingan pendidikan untuk merevisi fokus kurikulum. Perlu ada keseimbangan antara aspek kognitif dan non-kognitif, menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian integral dari setiap mata pelajaran. Pembelajaran berbasis proyek, diskusi, dan kegiatan kolaboratif dapat menjadi cara efektif untuk mengintegrasikan keduanya.